Islam Agama Keselamatan

Jihad Terbesar adalah Jihad Melawan Hawa Napsu

Islam Agama Keselamatan

Jihad Terbesar adalah Jihad Melawan Hawa Napsu

Islam Agama Keselamatan

Jihad Terbesar adalah Jihad Melawan Hawa Napsu

Islam Agama Keselamatan

Jihad Terbesar adalah Jihad Melawan Hawa Napsu

Islam Agama Keselamatan

Jihad Terbesar adalah Jihad Melawan Hawa Napsu

Sabtu, 29 September 2012

Tes

tes..................ts.....................t..............e..................s.....................

Rabu, 26 September 2012

Iman Kepada Allloh

Iman Kepada alloh merupakan salah satu dari Rukun Iman. Untuk lebih jelasnya klik read more



Sabtu, 22 September 2012

PROFIL MUSLIMAH IDEAL


Madrasah kenabian telah melahirkan generasi unggul dalam hal akhlak, prestasi, dan kemulian,mereka adalah Asma binti Abu Bakar, Fatimah binti Khattab, Sumayyah, Asma binti Umais, Shafiyah binti Abdul Muthalib, Asy-Syifa binti Abdullah, Asma binti Yazid, dlsb. Para alumnusnya terbentuk menjadi manusia-manusia teladan sepanjang zaman, dengan karakternya yang unik. Baik dari kalangan lelaki, maupun perempuan. Mereka laksana bintang-bintang di angkasa, mengukir dunia dengan keimanan, ketangguhan, sepak terjang, semangat, ilmu, dan pengabdiannya pada kebenaran Islam.
Tentang mereka, Allah SWT berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran, 3: 110).
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah, 9: 71).
Diantara sifat dan keteladanan yang ditunjukkan para shahabiyah yang harus kita contoh adalah:
Kesabaran mereka dalam mendukung dakwah
Anda tentu mengetahui Asma binti Abu Bakar yang dijuluki Nabi sebagai dzaatun nithoqoin (sang pemilik dua ikat pinggang), karena ia telah membelah ikat pinggangnya menjadi dua bagian untuk membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan diantarkannya kepada Rasulullah SAW  bersama Abu Bakar ke gua pada hari hijrahnya.
Asma pernah merasakan penyiksaan dari musuh Allah, Abu jahl, yang datang kepadanya untuk menanyakan tempat persembunyian ayahnya. Namun Asma memilih tutup mulut, sehingga hal ini membuat Abu Jahl  marah, lalu menempelengnya dengan keras hingga anting-anting Asma terlempar dari telinganya.
Selain itu, sejarah mencatat wanita mulia lainnya, Ummu Hakim.  Ia rela menempuh perjalanan panjang dengan sedikit bekal, bermaksud menyusul suaminya Ikrimah bin Abu Jahl yang melarikan diri selepas futuh Makkah. Atas kehendak Allah, ia dapat bertemu suaminya yang saat itu sudah sampai di pantai dan bersiap-siap naik kapal. Ummu Hakim mengajak suaminya agar berislam, ia jelaskan kesempurnaan Islam dan keluhuran budi Rasulullah SAW, sehingga tumbuhlah benih-benih kebaikan dalam jiwa Ikrimah.
Anda tahu kisah Ummu Syarik? Sejak iman telah merasuk ke dalam hatinya dan menyadari kewajiban agamanya yang lurus, dia pun mengisi hidupnya untuk menyebarkan dakwah tauhid. Dia memulai dakwahnya dengan mendatangi para wanita Quraisy secara sembunyi-sembunyi. Setelah melakukan dakwah secara bergerilya beberapa lama, penduduk Makkah kemudian menangkapnya dan menyerahkan kepada keluarganya. Ummu Syarik kemudian disiksa oleh keluarganya dengan cara dijemur di bawah terik matahari selama tiga hari dan dipaksa meninggalkan Islam. Dalam kondisi payah, dimana pikiran, pendengaran dan penglihatannya seolah-olah telah hilang, ia hanya bisa menjawabnya dengan isyarat jari ke langit sebagai ungkapan tauhid. Dalam kondisi seperti itu Allah menurunkan karamahnya, tiba-tiba Ummu Syarik melihat ada satu timba yang turun dari langit berisi air sejuk menggelantung di hadapannya hingga ia bisa minum sampai puas dan menyiramkan air itu ke atas kepala, wajah, dan pakaiannya.
Kesabaran menghadapi kesulitan hidup
Sifat dan keteladanan dalam menghadapi kesulitan hidup ditunjukkan Asma binti Abu Bakar yang sabar hidup serba kekurangan bersama suaminya Abdullah bin Zubair. Ia rela membantu pekerjaan suaminya merawat kuda dan memasak. Ia biasa mengangkut kurma di atas kepalanya dari kebun yang jaraknya sejauh 2/3 farsakh dari rumahnya (1 farsakh kurang lebih 8 km).
Memiliki Keterampilan
Wanita-wanita alumnus madrasah kenabian, bukanlah wanita-wanita pasif. Mereka memiliki bidang keahlian atau keterampilan hidup yang sesuai dengan zamannya. Ummu Kultsum memiliki keterampilan kebidanan. Shafiyah binti Abdul Muthalib dikenal sebagai wanita yang pandai bersyair. Ia pun sering terlibat dalam peperangan untuk mengobati pasukan yang terluka bersama muslimah lainnya seperti Asma binti Yazid, Ummu Sulaim, Ummu Haram, dll. Asy-Syifa binti Abdullah adalah wanita yang pandai menulis dan mampu mengajarkannya pada para muslimah-muslimah lain.
Aktif terlibat dalam jihad fi sabilillah
Pada masa Nabi, bukan hanya kaum pria saja yang terjun ke medan jihad. Para wanita pun turut andil di dalamnya sesuai dengan kemampuannya. Shafiyah binti Abdul Muthalib turut serta dalam perang Uhud, Khandaq, dan Khaibar sebagai pengobar semangat dan merawat yang terluka. Bahkan dalam Perang khandaq ia berhasil membunuh seorang Yahudi yang mengintai dan mengancam keselamatan para wanita di Madinah. Hal ini dilakukannya setelah Hasan bin Tsabit merasa enggan melakukannya.
Masih ada lagi sederet daftar nama para wanita muslimah yang terlibat dalam jihad fi sabilillah: Asma binti Yazid terjun di perang Yarmuk dan berhasil membunuh 9 orang tentara Romawi. Ummu Haram binti Milhan turut dalam perang Cyprus dan gugur dalam perjalanan pulang. Ummu Hakim binti Al-Harits terlibat dalam pertempuran di Marjus Shafar dan berhasil membunuh 7 orang tentara Romawi sebelum mati syahid. Ummu Umarah (Nasibah binti Ka’b) turut dalam perang Uhud dan mendapatkan 13 luka. Sedangkan dalam peperangan penumpasan Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya ia mendapatkan 12 luka.
Berilmu
Aktivitas belajar mengajar adalah aktivitas yang juga digemari para shahabiyah. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang berilmu.
a.       Pada masa-masa awal Islam, Fathimah binti Khatab bersama suaminya Sa’id bin Zaid belajar Al-Qur’an kepada Khabbab bin ‘Arat.
b.      Asma binti Yazid adalah shahabiyah yang dikenal rajin menyimak hadits-hadits Nabi dan paling berani bertanya tentang masalah-masalah agama. Ia juga sering dijadikan jubir kaum wanita untuk bertanya pada Nabi. Diantara perkara yang pernah ditanyakannya pada Nabi adalah masalah jihad bagi kaum wanita.
c.       Ummu Waraqah adalah penghafal quran yang baik bacaannya. Karena itu ia diangkat Nabi menjadi imam bagi kaum wanita.
d.      Asy-Syifa binti Abdullah selain pandai menulis ia pun banyak belajar hadits dan sering diminta pendapat oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam berbagai persoalan. Bahkan pada masa kekhalifahan Umar, Asy-Syifa binti Abdullah diangkat menjadi manajer pasar Madinah.
e.       Rubayyi binti Muawwidz adalah adalah salah seorang muslimah yang menjadi rujukan para sahabat senior dalam masalah hadits-hadits Nabi.
Berani menuntut keadilan
Sikap dan keteladanan dalam hal ini ditunjukkan Khuwailah binti Tsa’labah yang terkenal dengan kasus dzihar yang menyebabkan turunnya awal surat Al-Mujadilah.
Menjadi partner suami yang baik dalam rumah tangga
Sebelumnya sudah disebutkan, bahwa Asma binti Abu bakar biasa turut membantu pekerjaan rumah tangga: memberi makan kuda, menumbuk kurma, mengambil air, memasak roti, dan mengangkut kurma. Semuanya itu dilakukannnya dengan sabar atas dasar keimanan dan ketaatan pada Allah SWT.
Ummu Sulaim mampu menjadi penyeimbang suaminya, Abu Thalhah, dalam menghadapi musibah. Kisahnya yang terkenal adalah ketika anak mereka yang masih balita, Abu Umair, meninggal dunia karena sakit. Ummu Sulaim menghadapi kematian anaknya dengan sabar dan ridha. Ia kemudian meminta kepada keluarganya untuk tidak memberitahukan terlebih dahulu berita kematian Abu Umair kepada Abu Thalhah yang sangat menyayanginya.
Saat Abu Thalhah pulang dan bertanya keadaan Abu Umair, Ummu Sulaim menjawab: “Dia lebih tenang daripada sebelumnya.”. Abu Thalhah merasa gembira karena mengira anaknya sudah sembuh. Ummu Sulaim kemudian menghidangkan makan malam yang lezat, setelah itu ia bersolek melebihi biasanya dengan memakai pakaian, perhiasan, dan wangi-wangian yang terbaik hingga Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya berjima’.
Ummu Sulaim melakukan itu karena tidak ingin melihat suaminya bersedih. Dia ingin agar suaminya tidur nyenyak. Barulah di akhir malam ia bertanya pada suaminya: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila suatu kaum meminjami sesuatu kepada suatu keluarga, lalu kaum itu meminta kembali pinjamannya. Bolehkah keluarga tadi menahannya?” Abu Thalhah menjawab: “Tentu saja tidak boleh.”. Ummu Sulaim bertanya lagi: “Apa pendapatmu jika keluarga itu sangat keberatan untuk dimintai mengembalikan pinjaman tersebut setelah mereka keenakan memanfaatkannya.” Abu Thalhah kemudian berkata: “Tidak, menahan separonya pun tentu tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata:“Sesungguhnya anakmu adalah titipan Allah dan kini Allah telah mengambilnya, maka relakanlah anakmu.”
Dalam hal ini, Ummu Sulaim telah mengajarkan kepada setiap pasangan hidup, bahwa sebagai suami istri hendaknya mereka saling menopang dan menguatkan dalam menghadapi suka duka kehidupan.
Jangan lupa, menjadi partner yang baik itu bukan hanya dalam hal pekerjaan rumah tangga atau dalam hal menghadapi peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan keluarga. Dalam perkara ‘sepele’ sekali pun, misalnya dalam perkara jima’ (berhubungan intim), kita harus berusaha memposisikan diri menjadi partner yang baik. Hal ini dicontohkan Asma binti Umais yang pandai menyenangkan suami dalam hal menikmati kehidupan seksual, sehingga suaminya, Ali bin Abu Thalib, pernah berkata: “Kalian keliru jika beranggapan bahwa tidak ada perempuan yang syahwatnya bergelora. Tidak ada perempuan yang mempunyai sifat demikian, selain Asma binti Umais.”
semoga menjadi bahan tafakur ...


Jumat, 21 September 2012

TERBUAI INDAHNYA ISLAM DAN ALQURAN, PROFESOR KANADA MENJADI MU'ALLAF


Karena penggambaran negatif media terhadap umat Islam dan iman mereka telah mendorong seorang profesor Kanada untuk mempelajari Islam dan Alquran, dan mem
bawanya untuk memeluk Islam. I LOVE ISLAM I LOVE ISLAM “Ketika saya datang ke Arab Saudi saya menyadari betapa salah media Barat menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan terorisme,” kata David Roy Woelke, seorang profesor bahasa Inggris asal Kanada di King Abdulaziz University, kepada Arab News Jumat, 30/3/2012). “Bahkan, ini adalah agama perdamaian dan persaudaraan universal.” Woelke mengucapkan Syahadat pada hari Rabu di markasWorld Assembly of Muslim Youth (WAMY). Dia mengubah namanya menjadi Dawud. Dia mengatakan dia dibimbing ke agama Islam setelah melakukan studi banding tentang Islam dan Kristen. “Ketika saya datang ke Kerajaan aku melihat bahwa ada perbedaan besar antara Islam yang didistorsi oleh Barat dan Islam yang sebenarnya,” katanya. ..Ketika saya datang ke Arab Saudi saya menyadari betapa salah media Barat menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan terorisme.. “Jadi saya memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang agama ini. Ketika saya mempelajari lebih banyak tentang Islam, Allah Subhanahu Wata’ala membimbing saya untuk memperbaiki hidup. Karena itu, saya memutuskan untuk memeluk Islam..” Para Muslim sering digambarkan dalam media Barat sebagai orang yang kejam. Sebuah penelitian di Inggris baru-baru ini menuduh media dan industri film mengabadikan Islamofobia dan prasangka dengan memproyeksikan Muslim sebagai kekerasan, orang-orang berbahaya dan mengancam. Studi mendalam tentang Islam Dawud mengatakan bahwa studi yang mendalam tentang Islam telah menuntunnya untuk memeluk Islam. “Banyak teman-teman Muslim mendorong saya untuk menerima Islam sebagai agama saya,” katanya. “Seorang salesman Pizza bilang dia ingin melihat saya segera menjadi seorang Muslim.” ..Ribuan orang dari berbagai agama dan kebangsaan, terutama laki-laki dan wanita berpendidikan seperti Woelke, datang untuk masuk Islam setiap tahun.. Dawood mengatakan bahwa ia sekarang ingin memperkuat hubungannya dengan Allah Subhanahu Wata’ala setelah masuk Islam. “Agama adalah lembaga buatan manusia tetapi iman adalah hubungan antara manusia dan Tuhan,” katanya kepada Arab News. “Saya ingin menyibukkan diri dengan mendekatkan hubungan pribadi saya dengan Allah dan tidak begitu sibuk tentang hubungan orang lain dengan Allah.” Kabar tentang keislaman Dawud telah membuat banya warga Saudi senang. “Ribuan orang dari berbagai agama dan kebangsaan, terutama laki-laki dan wanita berpendidikan seperti Woelke, datang untuk masuk Islam setiap tahun,” kata asisten sekretaris jenderal WAMY Dr Muhammad Badahdah. “Ada permintaan besar untuk terjemahan bahasa Inggris dari Al-Qur’an dan buku-buku Islam di toko buku. Saya yakin Islam akan hati menarik orang-orang jujur seperti Woelke.

TAFAKKUR DIRI




Kita bangun tidur di waktu subuh dan kemudian membasah wajah dengan air wudlu yang segar. Sesudah melaksanakan sholat dan berdoa. Cobalah menghadap cermin di dinding. Di sana kita mulai meneliti diri :
1.Lihatlah kepala kita! Apakah ia sudah kita tundukkan, rukukkan dan sujudkan dengan segenap kepasrahan seorang hamba fana tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, atau ia tetap tengadah dengan segenap keangkuhan, kecongkakan dan kesombongan seorang manusia di dalam pikirannya?
2. Lihatlah mata kita!
Apakah ia sudah kita gunakan untuk menatap keindahan dan keagungan ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, atau kita gunakan untuk melihat segala pemandangan dan kemaksiatan yang dilarang?
3. Lihatlah telinga Kita!
Apakah ia sudah kita gunakan untuk mendengarkan suara adzan, bacaan Al Qur’an, seruan kebaikan, atau kita gunakan buat mendengarkan suara-suara yang sia-sia tiada bermakna?
4. Lihatlah hidung Kita!
Apakah sudah kita gunakan untuk mencium sajadah yang terhampar di tempat sholat, mencium istri, suami dan anak-anak tercinta serta mencium kepala anak-anak papa yang kehilangan cinta bunda dan ayahnya?
5. Lihatlah mulut kita!
Apakah sudah kita gunakan untuk mengatakan kebenaran dan kebaikan, nasehat-nasehat bermanfaat serta kata-kata bermakna atau kita gunakan untuk mengatakan kata-kata tak berguna dan berbisa, mengeluarkan tahafaul lisan alias penyakit lisan seperti: berghibah, memfitnah, mengadu domba, berdusta bahkan menyakiti hati sesama?
6. Lihatlah tangan Kita!
Apakah sudah kita gunakan buat bersedekah, membantu sesama yang kena musibah, mencipta karya-karya yang berguna atau kita gunakan untuk mencuri, korupsi, menzalimi orang lain serta merampas hak-hak serta harta-harta orang yang tak berdaya?
7. Lihatlah kaki Kita!
Apakah sudah kita gunakan untuk melangkah ke tempat ibadah, ke tempat menuntut ilmu bermutu, ke tempat-tempat pengajian yang kian mendekatkan perasaan kepada Allah Yang Maha Penyayang atau kita gunakan untuk melangkah ke tempat maksiat dan kejahatan?
8. Lihatlah dada Kita!
Apakah di dalamnya tersimpan perasaan yang lapang, sabar, tawakal dan keikhlasan serta perasaan selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana, atau di dalamnya tertanam ladang jiwa yang tumbuh subur daun-daun takabur, biji-biji bakhil, benih iri hati dan dengki serta pepohonan berbuah riya?
9. Lihatlah diri kita!
Apakah kita sering tadabur, Tafakur dan selalu bersyukur pada karunia yang kita terima dari Allah Yang Maha Perkasa?

Rabu, 19 September 2012

DZIKIR/KALIMAT YANG ALLAH SUKAI


Kata kata / Dzikir / Amalan yang disukai Allah

عن سمرة بن جندب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أحب الكلام إلى الله أربع: سبحان الله, والحمد لله, ولا إله إلا الله, والله أكبر, لا يضرك بأيهن بدأت)) [رواه مسلم]
Artinya: “Samurah bin Jundub berkata, Rasulullah saw bersabda: “Ada empat kalimat yang paling disukai Allah: ’subhanallah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar’ (mahasuci Allah, dan segala puji bagi Allah, serta tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah Maha Agung), maka kamu tidak akan diganggu apapun, dengan kalimat mana saja kamu memulainya” (HR. Muslim).
عن أبي ذر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن أحب الكلام إلى الله سبحان الله وبحمده)) .وفى رواية: سئل: أي الكلام أفضل؟ قال: ((ما اصطفى الله لملائكته أو لعباده سبحان الله وبحمده)) [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Dzar berkata, Rasulullah saw bersabda: “Kalimat yang paling disukai oleh Allah adalah: ’subhaanallaah wabihamdih’ (mahasuci Allah dan dengan segala pujian kepadaNya)”. Dalam riwayat lain dikatakan: Rasulullah saw ditanya: “Kalimat apa yang paling baik?” Rasulullah saw bersabda: “Kalimat yang Allah pilihkan untuk para malaikat dan hambaNya, yaitu ’subhaanallaah wabihamdih’ (mahasuci Allah dan dengan segala pujian kepadaNya)” (HR. Muslim).
عن جابر بن عبد الله قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (( أفضل الذكر: لا إله إلا الله, وأفضل الدعاء: الحمد لله)) [رواه الترمذى وقال: حديث حسن غريب].
Artinya: “Jabir bin Abdullah berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik bacaan dzikir adalah: Laa ilaaha illallaah (tidak ada Tuhan selain Allah). Dan sebaik-baik dua adalah: alhamdulillaah (segala puji bagi Allah)” (HR. Turmudzi dan Imam Turmudzi berkata: “Haditsnya Hasan Gharib”).
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (( من قال لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير, فى يوم مائة مرة, كانت له عدل عشر رقاب, وكتبت له مائة حسنة, ومحيت عنه مائة سيئة, وكانت له حرزا من الشيطان يومه ذلك حتى يمسى, ولم يأت أحد أفضل مما جاء به, إلا أحد عمل أكثر من ذلك. ومن قال: سبحان الله وبحمده فى يوم مائة مرة, حطت خطاياه, ولو كانت مثل زبد البحر)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan (berdzikir): ‘Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syaiing qadiir’ (tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya seluruh kekuasaan, dan bagiNya juga seluruh pujian, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), setiap harinya seratus kali, maka pahalanya sama dengan membebaskan sepuluh orang budak belian, serta akan dicatat seratus kebaikan, dihapuskan seratus kesalahan, serta akan terjaga dari gangguang setan pada hari itu sampai waktu sore tiba. Tidak ada satu orang pun yang dapat melebihi pahala dan kebaikannya, kecuali orang yang membacanya lebih dari itu (lebih dari seratus). Barangsiapa yang membaca ’subhaanallaah wabihamdih’ (mahasuci Allah dan dengan segala pujian kepadaNya), setiap hari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan sekalipun kesalahan-kesalahannya itu sebanyak buih lautan” (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي أيوب الأنصارى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (( من قال: لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير, عشر مرات كان كمن أعتق أربعة أنفس من ولد إسماعيل)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Dari Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca: ‘Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syaiing qadiir’ (tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya seluruh kekuasaan, dan bagiNya juga seluruh pujian, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), sebanyak sepuluh kali, maka pahalanya sama dengan orang yang membebaskan empat orang dari keturunan Isma’il” (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((كلمتان خفيفتان على اللسان, ثقيلتان فى الميزان, حبيبتان إلى الرحمن: سبحان الله وبحمده, سبحان الله العظيم)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan apabila diucapkan, akan tetapi sangat berat timbangan kebaikannya dan sangat disukai oleh Allah yang Maha Pengasih: ’subhaanallaah wabihamdihi subhaanallaahil azhiim, (mahasuci Allah dan dengan segala pujian kepadaNya, maha suci Allah yang Maha Agung,)” (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من قال حين يصبح وحين يمسي: سبحان الله وبحمده, مائة مرة, جاء يوم القيامة بأفضل ما جاء به أحد, إلا أحد قال مثل ما قال, أو زاد عليه)) [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang membaca (berdzikir) ketika pagi dan sore hari: ‘Subhaanallaah wa bihamdih’ (mahasuci Allah dan dengan segala pujian kepadaNya) sebanyak seratus kali, ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala kebaikan) yang melebihi apa yang dibawa orang lain. Kecuali apabila orang lain tersebut juga mengatakan sebanyak itu, atau lebih banyak lagi dari itu” (HR. Muslim).
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لأن أقول: سبحان الله, والحمد لله, ولا إله إلا الله, والله أكبر, أحب إلي مما طلعت عليه الشمس)) [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Aku berdzikir dengan membaca: ’subhanallah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar’ (mahasuci Allah, dan segala puji bagi Allah, serta tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah Maha Agung), lebih aku sukai dari pada terbitnya matahari” (HR. Muslim).
عن سعد بن أبي وقاص قال: كان عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: ((أيعجز أحدكم أن يكسب كل يوم ألف حسنة؟)) فسأله سائل من جلسائه: كيف أحدنا ألف حسنة؟ قال: ((يسبح مائة تسبيحة, فيكتب له ألف حسنة, أو يحط عنه ألف خطيئة)) [رواه مسلم].
Artinya: “Sa’ad bin Abi Waqash berkata: ‘Suatu hari ia berada di samping Rasulullah saw yang sedang bersabda: “Apakah kalian merasa berat untuk melakukan seribu kebaikan setiap hari?” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana caranya kami dapat melakukan seribu kebaikan tersebut?” Rasulullah saw bersabda: “Membaca tasbih (bacaan subhaanallaah, mahasuci Allah) sebanyak seratus kali, maka pahalanya sama dengan melakukan seribu kebaikan, atau Allah akan menghapuskan seribu kesalahannya” (HR. Muslim).

MEMAHAMI "LA ILAHA ILLALLAH"


Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?
Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallahI’robkata laa ilaaha illallah yaitu:
لا : لا النافية للجنس تعمل عمل إنّ وهي تنصب الإسم و ترفع الخبر
Laalaa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.
إله : إسم لا مبني على الفتح في محل نصب
Ilaahisim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.
Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ) yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya menjadialaha-ya’lahu-ilaahan ( أَلَهَ – يَأْلَهُ – إِلآهًا). “Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian). Isim mashdar terkadang dapat bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun”.
Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya mashdar “roddun” di sini bermakna fa’il, yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu “marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memenuhi syarat diterimanya amal.
Kemudian kembali ke “ilaah”, apakah “ilaah” dalam kalimat tauhid bermakna fa’il atau maf’ul bih?
Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih, sehingga kita tahu makna yang benar.
Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah” (لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah” di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini  bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyahyang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَنيُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَاللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka. Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai dengan fa’il maka konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifat rububiyyah saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.
Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh” (مألوه) atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (معبود) yang artinya adalah “sesuatu yang disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda”.
Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?
و خبر لا محذوف تقديره حق أو بحق
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin”.
Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:
  1. Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.
  2. Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?
Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin”. Sehingga kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah
لَا إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ilaaha haqqun illallahu
dan maknanya yang benar yaitu
لَا مَعْبُوْدَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau
لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.
Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada selain-Nya.
إلا : أداة الإستثناء
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).
لفظ الجلالة “الله” : بدل من خبر لا
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobarlaa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikutmarfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.
Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah AllahAllah itulah yang haq.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.
Wal ‘ilmu ‘indallaah

MENJAGA KEHORMATAN DIRI

عَنْ أَبي هُريرةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً، اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا»، -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، «بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ»، رواه مسلم.


Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada di sini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya”. Diriwayatkan oleh Muslim.
PENJELASAN HADITS
1-   Sabdanya (لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ) “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu yang (akan) dijual sebagian yang lain!“.
Al-Hasad (dengki) dapat terjadi pada perkara dunia maupun akherat. Dan termasuk ke dalam perbuatan hasad, adalah bencinya seorang pendengki terhadap kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain. Dan termasuk pula; keinginan seseorang agar kenikmatan tersebut hilang lenyap dari orang lain. Sama saja ia berharap agar kenikmatan tersebut berpidah kepadanya atau pun tidak.
Adapun jika seseorang berkeinginan untuk mendapatkan kenikmatan seperti apa yang Allah berikan kenikamatan tersebut kepada orang lain, tanpa ia membenci jika kenikmatan tersebut juga terdapat pada orang lain, dan tanpa berharap agar kenikmatan tersebut hilang dari orang lain tersebut, maka ini disebut ghibthah, dan bukan merupakan hasad iri dengki yang tercela.
An-Najsyu, artinya; seseorang menaik-naikkan harga sebuah barang tatkala sedang berlangsung tawar-menawar barang tersebut, sedangkan dia sama sekali tidak berniat untuk membelinya. Ia hanya ingin memberikan manfaat kepada si penjual, atau semata-mata ingin memadharratkan si pembeli dengan menambah harga barang tersebut.
At-Tabaghudh artinya melakukan sesab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan).
At-Tadaabur artinya saling memutuskan (hubungan) dan saling menghajr (mengisolir/memboikot). Dengan demikian, seseorang tidak lagi senang jika bertemu dengan saudaranya. Bahkan yang terjadi adalah saling memberikan punggung (membelakangi) dengan sebab kebencian yang terjadi pada keduanya.
Dan arti menjual sesuatu di atas penjualan orang lain, adalah; terjadinya jual beli antara si penjual dan pembeli, sedangkan mereka berdua masih dalam waktu tawar-menawar, kemudian datanglah penjual yang lain kepada si pembeli, seraya berkata, “Sudahlah! (Sekarang) kamu tinggalkan barang ini! Saya punya barang yang serupa atau bahkan lebih bagus, saya jual kepada kamu dengan harga yang lebih murah”. Dan perbuatan ini jelas menyebabkan kebencian.
2-   Sabdanya, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada disini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/ merendahkan saudaranya yang Muslim…”.
Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang beberapa perkara yang diharamkan, yang di antaranya adalah saling membenci antara sesama muslim dan melakukan sesab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada kaum muslimin agar mereka mau melakukannya. Yaitu, agar mereka menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara dan saling mencintai dan menyayangi. Saling berlemah-lembut dan berbuat baik, dengan cara memberikan hal bermanfaat dan mencegah dari hal-hal yang bermadharrat. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan dengan sabdanya “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya…”. Yang maksudnya, bahwa konsekwensi persaudaraan adalah dengan cara mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri. Dan ia membenci jika suatu musibah menimpa saudaranya sebagaimana ia pun membenci jika musibah menimpa dirinya. Dengan demikian, ia tidak boleh menzhalimi saudaranya dengan melanggar hak-haknya, atau dengan memberikan madharrat kepadanya. Demikian pula ia tidak boleh mengacuhkannya, terlebih lagi tatkala ia membutuhkan pertolongannya, sedangkan dia mampu untuk menolongnya. Juga tidak boleh berbicara dusta kepadanya. Tidak pula meremehkannya, baik dengan cara menghinanya atau merendahkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan buruknya perbuatan seorang Muslim yang meremehkan saudaranya Muslim, dengan sabdanya “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim“, maksudnya, cukuplah seseorang disifati buruk/ jahat, meskipun ia tidak memiliki sifat buruk lainnya kecuali hal tersebut (yakni; meremehkan saudaranya Muslim). Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dengan sabdanya “Takwa itu ada di sini“, dan beliau menunjukkan ke dadanya tiga kali, maksudnya takwa itu di hati. Beliau ingin menjelaskan bahwa yang dianggap dari seseorang adalah apa-apa yang ada di hatinya, berupa keimanan dan ketakwaan. Dan mungkin saja orang yang dihina dan diremehkan tersebut hatinya dipenuhi dengan ketakwaan. Dengan demikian, orang yang menghina dan meremehkan tersebut yang hatinya tidak baik.
Adapun perkataan sebagian orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, kemudian ada yang menegurnya, dan pelaku maksiat tersebut malah berkata sambil menunjukkan ke dadanya “Takwa itu ada di sini“, maka perkataannya (harus) dibantah (demikian):
Sesungguhnya ketakwaan itu, jika memang telah bersarang di dalam hati, maka akan tampak dampaknya dan terefleksikan pada anggota tubuh. Dengan terlihat padanya istiqamah (kelurusan perbuatan) dan tidak bermaksiat. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasadnya akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasadnya akan rusak pula. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati (jantung)“. Dan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ».
Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat hati dan amalan kalian.
Diriwayatkan oleh Muslim (2564). Dan telah terdapat perkataan sebagian salaf, “Bukanlah iman itu dengan hanya berangan-angan dan berhias-hias diri, akan tetapi iman itu adalah sesuatu yang bertengger dalam hati dan direalisasikan dengan amalan”.
3-   Sabdanya “Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya“.
Melanggar jiwa seorang muslim dengan cara membunuhnya atau menyakitinya hukumnya haram. Demikian pula haram hukumnya melanggar hartanya, baik dengan cara mencuri, atau merampas hartanya. Adapun melanggar kehormatan seorang muslim, adalah dengan mencelanya, menghinanya, mengghibahinya, mengadu dombanya, dan yang sejenisnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menegaskan keharaman ketiga hal di atas di saat haji wada’. Beliau menyamakan keharamannya seperti keharaman tempat dan waktu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا…».
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian telah diharamkan atas kalian (untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian (Dzulhijjah) ini, di negeri kalian (Mekkah) ini.
4-   Pelajaran dan faidah hadits:
  1. Haramnya saling berbuat hasad, menipu, menjual di atas penjualan orang lain, dan demikian pula membeli di atas pembelian orang lain. Dan segala yang dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara sesama kaum muslimin.
  2. Larangan melakukan sebab-sebab yang dapat menimbulkan kebencian. Demikian pula segala sesuatu yang dapat menimbulkan pemutusan hubungan dan pemboikotan di antara sesama kaum muslimin.
  3. Anjuran kepada seluruh kaum muslimin agar mereka saling memiliki rasa persaudaraan dan saling menyayangi dan mencintai.
  4. Persaudaraan di antara kaum muslimin, konsekwensi dan realisasinya adalah memberikan segala bentuk kebaikan, dan menghalangi mereka dari segala bentuk mara bahaya yang dapat menimpa mereka.
  5. Haram atas setiap muslim untuk menzhalimi, mengacuhkan, merendahkan, dan berkata dusta kepada saudaranya.
  6. Bahayanya merendahkan, menghina, dan mencemooh seorang muslim. Dan perbuatan ini cukup sebagai bukti akan buruknya pelaku hal tersebut, walaupun ia tidak memiliki sifat buruk selainnya.
Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dalam Shahih Al-Bukhari (5026), Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهْوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ».
Tidak boleh hasad kecuali pada dua perkara; seseorang yang Allah ajarkan kepadanya Al-Qur’an, lalu ia membacanya siang malam, kemudian tetangganya mendengarnya seraya berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti apa-apa yang diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan seperti apa yang ia amalkan”. Dan seseorang yang Allah berikan harta kepadanya, lalu ia pun menghabiskan hartanya tersebut untuk jalan al-haq (kebenaran), kemudian seseorang yang lain berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti apa-apa yang diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan seperti apa yang ia amalkan”.